Islam dan Ajaran Toleransi
Islam dan Ajaran Toleransi adalah topik yang penting ketika
dihadapkan pada situasi saat ini ketika islam dihadapkan pada banyaknya
kritikan bahwa Islam adalah agama intoleran, diskriminatif dan ekstrem. Islam
dituduh tidak memberikan ruang kebebasan beragama, kebebasan berpendapat,
sebaliknya Islam sarat dengan kekerasan atas nama agama sehingga jauh dari perdamaian kasih
sayang dan persatuan.
Memang tidak
dapat dipungkiri kesimpulan keliru oleh para pengkritik Islam tersebut
terbentuk dari fakta-fakta sebagian kecil umat Islam yang melakukan tindakan
yang mengatasnamakan jihad Islam yang tidak
tepat. Tetapi meski demikian kita akui juga bahwa kekuasaan yang
sewenang-wenang yang diterapkan oleh negara-negara adidaya terhadap
negara-negara miskin dan negara berkembang serta standar ganda yang mereka
terapkan ketika terjadi kesepakatan antara mereka dengan negara-negara
berkembang yang juga termasuk negara-negara Islam- adalah penyebab alami reaksi
kekerasan yang timbul. Tentu saja ini bukanlah cara-cara Islam dan benar-benar
bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam adalah
agama yang mengajarkan untuk menghormati para utusan Allah, meyakini bahwa
mereka adalah para utusan Allah yang benar yang bertugas menyampaikan
ajaran-ajaran yang benar sesuai dengan situasi pada masing-masing zaman. Dari
hal ini bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa agama seperti ini tidak
mengajarkan toleransi terhadap agama lain? Bagaimana bisa dikatakan agama Islam
tidak mengajarkan persatuan dan kerukunan dengan agama lain? Bagaimana bisa
agama Islam mengajarkan kebiasaan intoleransi agama dan menganjurkan hidup
dengan orang lain tanpa cinta dan kasih sayang? Tidak mungkin. Menyatakan bahwa
dalam agama Islam tidak ada nilai-nilai kesabaran dan kebebasan berpendapat
atau berbicara adalah suatu tuduhan yang tidak berdasar.
Makna Toleransi Dalam Islam
Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukkan
keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi menghargai eksistensi
agama orang lain. Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama
lainnya.
Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan
dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda
dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of
Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs,
customs, behaviors, etc, different from one’s own.
Adapun dalam
bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata
toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan). atau sa’at
al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka
(welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang
mulia.
Di dalam
Islam, juga dikenal istilah toleransi. Toleransi (tasamuh) di dalam Islam hanya
berkenaan dengan masalah–masalah duniawiyyah/masalah kemasyarakatan di dunia
saja. Sedangkan dalam masalah i’tiqad/aqidah Islamiyyah juga dalam masalah
syari’ah tidak diketemukan toleransi di dalamnya.
Konsep Toleransi Dalam Islam
Secara
doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Makna Islam sendiri
mengandung makna antidote dari kekejaman, disharmonisasi dan intoleransi. Salah
satu artinya adalah damai, penyerahan diri dan ketataatan, dan juga berarti
menciptakan kerukunan dan perdamaian. Salah satu makna lainnya adalah
menghindari orang yang menyakiti, arti lainnya adalah hidup bersama secara
harmonis.
Definisi
Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal
lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan
untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan
toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat
manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin
disamakan.
Tujuan dari
penjelasan tentang kata Islam yang diberikan oleh Allah taala pada agama Islam
ini adalah karena seluruh ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang dibawa oleh
Rasulullah saw penuh dengan cinta, Toleransi, kesabaran, dan kebebasan hati
nurani dan berbicara dan hak untuk mengungkapkan pendapat.
Dalam al-Qur’an
Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku olehmu sekalian. Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menegaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasannya sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku olehmu sekalian. Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menegaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasannya sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
- Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
- Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
- Kelemah lembutan karena kemudahan
- Muka yang ceria karena kegembiraan
- Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
- Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
- Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
- Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya,
menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan Inti Islam, Seutama iman,
dan Puncak tertinggi budi pekerti
(akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda.
Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan
yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang
bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada
rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya :
'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi
setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
Standar
Toleransi Islam
Contoh lain
yang sangat baik tentang toleransi, AlQuran Suci menjelaskan bahwa bagaimanapun
keadaannya, Anda tidak boleh meninggalkan toleransi. Terlepas dari kekejaman
yang ditimbulkan pada kalian, kalian jangan bertindak selain dengan keadilan
dan tidak membalas dendam dengan cara yang sama kejamnya. Jika kalian
melakukannya, maka kalian adalah sesat, kata lain untuk sebutan keislaman
kalian menjadi tidak berarti. AlQuran Suci menyatakan:
”...janganlah kebencian sesuatu kaum
mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada
takwa.” (Q.S 5: 9)
Ini
adalah standar toleransi dan keadilan dalam Islam. Islam menganjurkan untuk
tidak menanggapi tuduhan rendah dan hina dari lawan, karena dengan
melakukan itu maka akan membuat kita sendiri menjadi kejam. Sebaliknya
memaafkan adalah tindakan yang lebih baik dan kalaupun diharuskan untuk
membalas maka kita balas dengan catatan tidak melebihi luka yang telah
ditimbulkan kepada kita.
'Tidak boleh ada paksaan dalam
agama.” ( Q.S 2: 257 )
Perintah ini
diturunkan di Madinah. Pada saat itu mayoritas penduduk Madinah telah menjadi
Muslim, sebagian lagi adalah orang-orang yang tidak tertarik pada agama dan
mereka bergabung dengan kaum Muslim seperti burung-burung pada kawanan yang
sama. Bila dilihat dari sudut pandang ini, penduduk Muslim mewakili mayoritas.
Di sisi lain orang-orang Yahudi yang berkuasa sebelum kedatangan Rasulullah ke
madinah sekarang mereka telah berkurang dan menjadi minoritas. Sebagai
konsekuensinya, dengan menjadi Kepala Negara, pemerintahan Rasulullah (saw)
telah terbentuk dengan kuat. Meskipun demikian perintah tersebut menyatakan
bahwa "Kalian tidak akan menggunakan paksaan dalam agama, juga tidak akan
menggunakan kekuatan terhadap orang-orang lemah walaupun mereka bukan Islam
yang telah bergabung dengan kalian sebagai kawan dan saudaramu, atau tidak akan
menggunakan kekuatan terhadap orang Yahudi yang hidup di bawah wilayah kalian.
’
Sebuah
contoh luar biasa tentang toleransi dan pengampunan adalah seperti yang
diperlihatkan oleh Rasulullah saw :
Suatu ketika Rasulullah saw membeli unta dari
seorang Badui yang ditukar dengan sekitar 90 kilo kurma kering. Ketika
Rasulullah saw sampai dirumah, ia menemukan bahwa semua kurma telah hilang.
Dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan, beliau mendatangi orang Badui
tersebut dan berterus terang padanya, Wahai hamba Allah! Saya telah membeli
unta dengan ditukar dengan kurma kering dan saya merasa bahwa saya memiliki
banyak kurma tetapi ketika saya sampai dirumah, saya menemukan bahwa saya tidak
memiliki kurma yang banyak. Orang Badui itu berkata: Dasar penipu! Orang-orang
mulai memberitahu Badui untuk berhenti berbicara seperti itu terhadap
Rasulullah saw, tetapi Rasulullah saw bersabda: Biarkan dia.
Ajaran Islam Tentang Toleransi Sejalan dengan UUD 1945
Di Indonesia, ajaran Islam tentang toleransi sejalan
dengan apa yang ada dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Pasal tersebut berbunyi
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pada pasal tersebut dijelaskan, tidak boleh ada
paksaan dari mana pun terhadap keyakinan seseorang, karena hal itu termasuk hak
asasi yang perlu dilindungi. Sementara itu, kata Hasan, toleransi dalam Islam
telah dipraktekkan ketika Rasulullah Saw tinggal di Madinah. “Meskipun saat itu
beliau adalah seorang pemimpin, namun beliau tetap menghormati umat lain,”
Dapat dilihat ketika Nabi Muhammad SAW membuat
perjanjian yang dikenal dengan istilah Piagam Madinah. Di dalam Piagam Madinah
secara ekspelisit tertulis beberapa golongan dan berbagai suku. Rasulullah SAW
tampaknya mempunyai pengetahuan yang luas tentang keadaan politik
kelompok-kelompok secara terpisah, maka tidak ada persatuan diantara mereka dan
mereka tidak mempunyai pemerintahan yang membawahi berbagai kelompok itu.
Di dalam Piagam Madinah terdapat kalimat-kalimat yang
mengandung makna dan mengarah kepada kesatuan dan persatuan. Pada Pasal 1
dinyatakan, “Mereka satu umat, berbeda dengan yang lain”, Pasal 15 menyatakan,
perlindungan Allah hanyalah satu, Pasal 16 menentukan “Orang Yahudi yang
mengikuti kita, berhak atas pertolongan dan bantuan”, Pasal 24 menyatakan “Kaum
Yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan”, Pasal 25
menyatakan “Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama kaum mukminin”.
Dalam rangka upaya melakukan konvergensi sosial,
Rasulullah SAW melakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, membangun
masjid sebagai tempat ibadah dan pertemuan kaum muslimin. Kedua,
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshor. Ketiga, meletakkan dasar-dasar
tatanan masyarakat baru yang mengikut sertakan semua penduduk Madinah yang
terdiri berbagai kelompok, termasuk Yahudi. “Pada bulan-bulan pertama menetap
di Madinah, beliau sibuk mengatur berbagai urusan menyanggut komunitas Muslimin,
agama dan urusan sekuler,”.
Dalil – Dalil Tentang Toleransi :
Dalil yang Pertama
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لا أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ (2) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3)
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Dari asbabunnuzul tersebut bahwa surat
Al-Kafirun diturunkan untuk menanggapi bujuk rayu para dedengkot kafir Quraisy diantaranya : Haris bin Qois Assahmy, Al-'Ashi bin Wa-il, Al-Walid
bin Al-Mughirah, Al-Aswad bin Abdu Yaguts, Al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah
bin Khalaf yang menemui
Rasulullah saw dan berkata: "Wahai Muhammad! Mari kita bersama - sama
menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah
dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami." Lalu
para kafir itu pun menjanjikan beberapa imbalan seperti harta yang berlimpah,
sehingga akan membuat Rasulullah SAW menjadi lelaki yang terkaya di kota Makkah,
juga mereka (kafir Quraisy) akan menikahkannya dengan wanita – wanita yang
cantik. Lalu mereka berkata :
“Semuanya itu adalah untukmu, hai Muhammad, asal kamu cegah
dirimu dari mencaci maki tuhan-tuhan kami dan jangan pula kamu
menyebut-nyebutnya dengan sebutan yang buruk. Jika kamu tidak mau, maka
sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan mengikuti pula agamamu
selama setahun.”
Tapi, apa
jawab orang yang Allah telah pilih menjadi kekasih-Nya itu, “"Tunggulah
sampai ada wahyu yang turun kepadaku dari Robbku." Lalu seketika itu,
Allah Jalla JalalluHu menurunkan firman-Nya :
Katakanlah: "Hai orang-orang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
(Al Kaafiruun : 1-6)
Lalu Allah
menurunkan firman-Nya lagi,
Katakanlah: "Maka apakah kamu
menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?" (Az Zumar : 64)
Setelah
mendengar keterangan itu, lalu pergilah mereka dengan tangan hampa dan dalam
keadaan yang hina.
Jadi
sangatlah jelas bahwa Allah ‘Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya untuk
bertoleransi dalam masalah aqidah dan syari’ah kepada orang kafir bahkan di
ayat itu juga, secara tidak langsung Allah melalui Nabi-Nya menyuruh ummatnya
agar menyebut mereka (yang bukan Islam) dengan sebutan Kafir (orang yang ingkar
kepada Allah). Tidak pernah Allah menyebut mereka ataupun orang semacam mereka
dengan sebutan “Yaa Ayyuha Ghoirul Muslimuun (Wahai, orang–orang non-Islam)”,
tapi Allah menyebut mereka dengan sebutan “Yaa Ayyuhal Kaafiruun (Wahai,
orang–orang kafir). Meskipun agak terdengar kasar (bagi orang Indonesia) tetapi
itulah sebutan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk mereka, dan kita wajib
mengikutinya. Tidak oleh membantahnya. Hal itu semata–mata hanya untuk
menyatakan bahwa Islam tidak bisa bertoleransi dalam hal aqidah.
Dan ayat
‘Lakum Diinukum WaLiyadiin’ BUKANLAH ayat toleransi, melainkan ayat PENEGASAN
untuk TIDAK mengikuti apa–apa yang orang kafir suruh kepada kita ummat Islam.
Disinilah banyak yang salah kaprah.
Dalil yang Kedua
عَن اَبِي
هُرَيرَة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خَمْسٌ مِنْ حَقِ اْلمُسْلِم عَلى
اْلمُسْلِمْ رَدُ التَحِيَةِ وَاِجَابَةُ الدَعْوَةِ وَشُهُودُ الجَنَازَةِ
وَعِيَادَةِ المَرِيضِ وَتَشْمِيَتُ الغَاظِسِ اِدَا حَمِدَاللهُ .
Dari Abu Hurairah ra.berkata,
Rasulullah Saw bersabda: Ada lima kewajiban orang islam terhadap orang islam
lainnya, yaitu membalas salam, memenuhi undangan, melayat jenazah, menengok
orang sakit, dan berdoa bagi orang yang bersin yang memuji Allah ( membaca
Hamdallah ). ( H.R. Ibnu Majah )
Dalam hadis
di atas Rasullah Saw memberi pelajaran kepada orang-orang islam tentang
kewajiban dan haknya dalam pergaulan sehari-hari. Hak dan kewajiban itu antara
lain:
1) Kewajiban membalas salam
Apabila ada
orang islam yang memberi salam atau mengucapkan salam, yaitu “assalamu’alaikum”
maka orang islam lainnya berkewajiban membalas atau menjawab salam itu. Memberi
salam adalah sunah.
2)
Kewajiban memenuhi Undangan
Orang islam
apabila diundang oleh orang islam lainnya, wajib memenuhi atau menghadirinya,
terutama adalah undangan pernikahan atau walimatul ursy.
3)
Kewajiban Melayat orang islam yang
meninggal
Apabila ada
orang islam yang meninggal dunia, maka orang islam lainnya berkewajiban
melayatnya. Hukumnya adalah wajib kifayah.
4)
Kewajiban mendoakan orang islam yang bersin
yang memuji Allah
Apabila ada
oarng islam bersin lalu ia mengucapkan “alhamdulilah” maka orang islam yang
mendengarkannya berkewajiban mendoakannya dengan mengucapkan doa”
Yarhakumullah”.
Perintah
yang di pesankan dalam hadis tersebut tampak sangat manusiawi dan sesuai dengan
hukum sosial. Sebagaimana diakui dalam sosialogi bahwa pada kehidupan
masyarakat apapun dan dimana pun beradanya sangat memerlukan adanya perilaku
yang seimbang diantara anggotanya.
Oleh
karena itu apa yang di anjurkan hadis tersebut merupakan tata aturan/hukum
sosial kemasyarakatan yang sangat indah dan manusiawi. Lebih dari itu etika
sosial tadi hukumnya bukan hanya mengandung nilai-nilai budaya luhur, tetapi
juga mengandung nilai peribadatan, karena dalam praktiknya banyak mengandung
doa guna membesarkan hati, menggembirakan, menentramkan, menghibur orang yang
bersangkutan.
Dalil yang Ketiga
مَثَلُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِهِمْ وَتَرَاحِمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ
اْلجَسَدِ اِدَااسْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرِ اْلجَسَدِ بِالسَهَرِ
وَاْلحُمَى رواه البخارى والمسلم .
Perumpamaan
sesama orang-orang mukmin dalam mencinta, menyayangi, dan merasakan lemah
lembut seperti satu tubuh manusia, Jika diantara satu anggotanya merasa sakit
maka seluruh tubuh akan merasakan gelisah dan sakit panas.(HR.Bukhori dan
Muslim)
Hadis
ini menerangkan tentang etika atau tata pergaulan sosial kemasyarakatan sesama
muslim. Dalam hadis ini Rasullalah memberi pelajaran bagaimana hubungan sosial
orang-orang islam dengan orang islam lainnya. Cinta kasih sayang dan kemesraan
hubungan orang0orang muslim dengan muslim lainnya itu digambarkan oleh
Rasulallah SAW ibarat satu tubuh. Dalam hadis ini juga menjelaskan tentang
pentingnya solideritas dalam kehidupan antara umat islam.